Sabtu, 25 Juli 2009

SUBLIMASI PARODI RUTINITAS



“The individual, in our society, worksfor profit; but the social purpose of his worklies in the consumption of what he produces.It is this divorce between the individual andthe social purpose of production that makesit so difficult for men to think clearly in aworld in which profit-making is the incentiveto industry.”-- Bertrand Russell (1872-1970)

Rekreasi, berlibur dan meluangkan waktu bersama teman atau mungkin kekasih kalian,setelah merasakan kepenatan dalam rutinitas kerja. Tentu saja, hal tersebut menjadi sesuatu yang sangat dirindukan dalam eramodernitas saat ini. Para pekerja seakan menganggap hal ini, layaknya sebuah momendi mana mereka dapat terlepas dari“lingkaran setan” rutinitas kerja. Suatu momen di mana mereka menganggap bahwa waktu luang tersebut seakan-akan menjadi sebuah masa kebebasan dari “rantai-rantai” dunia kapital yang membelenggu hidup,walaupun mereka sendiri sadar bahwa haltersebut hanyalah untuk sementara saja.Sebab esok hari mereka harus kembali lagi melakukan rutinitas yang sama.

Kita seakan melihat bahwa semuarutinitas ini menjadi satu hal yang wajar. Seorang teman malah pernah bilang sepertiini,

“yah...rutinitas ini memang membosankan, tapi toh...saya kan nggak kerja terus-terusan, waktu libur saya, kan,tetap bisa saya manfaatin buat ngehilangin kebosanan yang kamu maksud. Saya bisa pergi rekreasi, tetap bisa hang out, nonton, belanja ke mall, atau pergi ke diskotik bersama teman saya.”

Ho-ho-ho... what a beautyfull world that we live in. Hal ini seakan menjelaskankondisi yang ada pada saat ini, bahwa kitamelihat seakan-akan segala rutinitas membosankan yang dilakukan sebagai sebuah kewajaran. Sekalipun pada dasarnya kita sadar bahwa semua itu memang amatlah sangat membosankan. Namun, mekanisme dunia industrialisasi serta komoditas selalu punya sejuta cara menggiurkan untukmengaburkan kemerosotan yang terjadi pada saat ini.

Roda dari dinamika internal dunia produksi dan konsumsi selalu punya cara untuk membuat “hewan-hewan gembalaannya” tetap berada di jalur dunia kapital. Waktu luang yang ada dalam rutinitaskerja tak pernah menjauhkan para pekerjadari dunia komoditas. Pada kenyataannya,waktu luang ditransformasikan lagi menjadisebuah bentuk komodifikasi. Dengan kata lainwaktu luang itu sendiri adalah merupakanproduk dari mekanisme produksi dan konsumsi, sebuah blueprint bagi kehidupanmanusia yang dimateraikan oleh perputaranroda dunia kapital.
Kebosanan yang dirasakan olehseseorang dalam lingkungan kerjanya, tentusaja menjadi sebuah isyarat yang buruk bagimekanisme pasar, dan salah satu cara untukmengaburkan hal tersebut adalah denganmenggiring mereka (pekerja) dalam “mimpi-mimpi”komoditas dengan segala hal yangbegitu “berkilauan” yang ada di dalamnya.“Ilusi” akan waktu luang merupakan carauntuk menghipnotis setiap pekerja, sehinggajika mereka kembali melakukan rutinitaskerja yang (tentu saja...!) telah dijadwalkan,mereka tetap berada dalam kondisi yangsegar, sehat, dan ceria. Perputaran dan setiapperulangan ini tentu saja tak pernah lepas darimekanisme komoditas. Semua ini seakanmembuat kita berpikir bahwa tak pernah adajalan untuk keluar dari perputaran rutinitasini, bahwa kita harus menerima semua inisemata-mata sebagai suatu kewajaran.

Menjadikan kehidupan yangmengisolasi ini menjadi suatu hal yang patutuntuk disakralkan, adalah sebuah sejarahyang muram dari peradaban manusia. Dimana setiap orang memainkan peranan yangsama dan dalam arahan yang sama pula,dalam sebuah mekanisme perbudakan duniakomoditas. Dalam kondisi schizofrenik ini,aktifitas kerja dari para pekerja itu sendirimemiliki satu substansi tertentu. Namun,mereka tak memiliki kebebasan, sebaliknyadalam waktu luangnya, mereka memilikikebebasan, namun tanpa substansi apa pun.

Waktu luang yang diperuntukkan bagipara pekerja untuk menghilangkan kelelahanserta mereduksi seminimal mungkin rasabosan yang dialami, merupakan waktu kosongyang diperuntukkan bagi kepentingan kerjaitu sendiri. Satu-satunya perbedaan antarabekerja dengan waktu luang adalah, bahwajika bekerja paling tidak kamu dibayar untukketerasingan dan rasa lelah yang kamu alami.
Kesenangan yang didapatkan di dalammekanisme pasar dan komoditas menjadijauh lebih membosankan daripada rasa bosanyang didapatkan pada waktu memproduksiproduk-produk tersebut. Hasrat untukbersenang-senang didefenisikan dalam duniakomoditas sebagai kesenangan dalammengonsumsi. Sebuah kebebasan abstrakdalam wilayah orbit suatu perolehan profitmaksimum. Efek yang mengerikan, kinimenyebar dan memasuki setiap “celah-celah”mimpi sekalipun, mereduksi setiap gairahuntuk bersenang-senang menjadi “sesosokmonster” yang bernama komoditas. Orientasipasar yang berupa profit menciptakan peranbagi “parodi” ini. Mentransformasikan hidupsetiap pelakunya dalam bentuk komoditas.

Rutinitas kerja keseharian yang kompleks, terutama yang terjadi dalammasyarakat di kota-kota besar, tentu dirasakan sangatlah membosankan. Dan dalam waktu luangnya, maka para pelaku mekanisme pasar ini memanfaatkan waktu yang tersedia tersebut untuk menghilangkankepenatan mereka dengan mencari kesenangan. Namun, kesenangan tersebutmelahirkan bentuk komodifikasi yang lainlagi: setelah memproduksi maka selanjutnya mengonsumsi. Inilah mata rantai yang demikian eratnya membelenggu keseharian hidup manusia.

Lihat saja di sekeliling kalian, industrialisasi hiburan kini makin menjamur di mana-mana, menjadi satu lahan bisnis yang sangat menarik. Mulai dari para investor asing hingga birokrat-birokrat lokal punberamai-ramai mulai “menambatkanjangkarnya” di lahan bisnis industri hiburan ini. Hal ini tentu tak pernah lepas dariperanan media yang dengan sangat gencar mempropagandakan “parade” komoditas ini. Memberikan standarisasi nilai hidup yangsangat menggiurkan, yang pada kenyataannya hanya menjadi satu bentuk kebosanan yanglain lagi.

Setiap pilihan yang ada dalam kilaudunia komoditas, menyediakan setiap pilihanyang pada intinya merupakan manifestasikehidupan manusia yang pasif, danmematikan setiap gairah hidup manusia. Kiniapa yang menjadi pilihan kalian?Menghabiskan waktu di depan televisi selamaseharian di waktu libur; mengisolasi dirisendiri di depan layar kaca sambil menelanmentah-mentah setiap propaganda iklan yangada di dalamnya; atau malah menghabiskanratusan ribu; atau lebih untuk bersenang-senang bersama teman dan relasi bisnis;ngobrol hal-hal yang masih juga berhubungandengan urusan bisnis di dalam diskotik, danpulang ke rumah masing-masing dalamkeadaan mabuk parah. Tertidur hingga esok hari untuk kemudian memulai rutinitas kerja,yang masih saja sama dengan hari-harisebelumnya: dengan kelelahan, kepenatan,dan tentu saja, masih dengan rasa bosan yangtetap saja sama.

Semua aktivitas yang dilakukan dalamdunia komoditas ini memang memilikiperbedaan dalam pelaksanaannya namunesensinya tetap saja sama, yaitu kebosanandan keterasingan yang abadi. Dalam duniakomoditas kebebasan hanyalah suatu ilusi,yang memparodikan sebuah ilusi akankebebasan dengan mengonsumsi. Jika gairahhidup manusia telah mati, maka kini apa lagi yang masih berarti dari kehidupan itusendiri? []

(Thomas - partisipan Idefix)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar